Ayah sepertiga malam ini ananda mengingatmu, mengingat semua tentangmu. Ayah aku sekarang telah” besar “, aku sudah bisa hidup. Hidup sendiri, jauh dari bising suara herman yang gelisah melihat tim sepakbola kesayangannya kalah, dari celoteh uda yang resah melihat perkembangan pikiran kritisku, juga dari over kagumnya Hendro dan Robi terhadap sosokku..tapi di luar itu aku sangat rindu mama yang selalu mendengarkan tiap keluh kesahku tentang uda, tentang sekolahku, tentang herman yang bisu, tentang wanita yang kusayangi waktu itu. Juga mama selalu mendengar gelisahku kala melihat Ayah yang sering duduk berlama-lama di warung dengan kawan-kawan Ayah hingga seakan Ayah lupa akan mama dan kami berlima.
Namun semua tinggal nostalgia kita. Sekarang maafkan aku Ayah aku belum bisa dibanggakan, belum dapat memberikan sebungkus rokok kretek kesukaanmu, sejuta emas untuk kebanggaan yang diiming-imingkan uda untukmu.
Ayah, saat aku duduk di bangku sekolah ayah pernah bilang, aku ini “lain” sedikit berbeda yang pasukan pandawamu. Tapi, lanjutmu aku ini terlalu bodoh untuk berbohong, terlalu lunak untuk menjadi tegas. Kau juga bilang, aku ini terlalu cengeng, banyak mengeluh dan selalu melarikan diri dari kesalahan.
“Ah mungkin Ayah. Namun ingatkah saat remaja, aku kerap membuatmu galau, marah, bahkan kecewa terhadapku. Kau tak pernah lagi mau menyempatkan diri melihat nilai-nilaiku.
Tak pernah ada lagi pembelaanmu terhadap “keanehanku”, seakan kau sudah masa bodoh. Sampai akhirnya uda ikut menambahkan dan menyalahkan. Ah Uda bertanya tentang tingkahku, mukanya yang keling seakan memutih pasih mendengar jawaban dari pertanyaannya.
“Ha…ha…ha..sudah tahu nanya” begitu jawabku meremehkan. Selanjutnya bogem-bogem mentah kami saling beradu. Sampai akhirnya raungan dan tangisan mama lah yang membuat kami berhenti. Aku tak kuat mendengar mama meraungi kami
Ayah sekarang aku berada di kota yang mana telah menyeretku untuk berpikir memahami kenyataan, mengartikan tanggung jawab, membawa diri disela-sela perbedaan. Ayah…aku sangat rindu padamu, pada caramu mendidik uda, aku, dan adik-adik. Caramu mencintai mama juga caramu mengasihi umi, apa, amak dan kakak perempuanmu di Bukittinggi.
Entahlah Ayah di kota ini rinduku kian membengkak bak bisul yang mau pecah, menggunung bak payudara gadis tetangga sebelah saat ku dipinta merabanya., hahahahahah….Yah tetangga sebelah kita Ayah, perempuan yang pernah kupacari setelah dipacari uda….uh gila!!!
Ayah pada akhirnya aku sangat menyayangimu, mencintaimu, merindukanmu …disini banyak inginku mengadu memberitahumu tentang “sesuatu”. Tentang hari-hariku, tentang semua yang terjadi padaku disini… Maafkan aku ayah. Semoga engkau sedikit tenang melihat keadaanku yang mulai membaik.. Doakan aku ayahanda…
Miss u
Ayah, saat aku duduk di bangku sekolah ayah pernah bilang, aku ini “lain” sedikit berbeda yang pasukan pandawamu. Tapi, lanjutmu aku ini terlalu bodoh untuk berbohong, terlalu lunak untuk menjadi tegas. Kau juga bilang, aku ini terlalu cengeng, banyak mengeluh dan selalu melarikan diri dari kesalahan.
“Ah mungkin Ayah. Namun ingatkah saat remaja, aku kerap membuatmu galau, marah, bahkan kecewa terhadapku. Kau tak pernah lagi mau menyempatkan diri melihat nilai-nilaiku.
Tak pernah ada lagi pembelaanmu terhadap “keanehanku”, seakan kau sudah masa bodoh. Sampai akhirnya uda ikut menambahkan dan menyalahkan. Ah Uda bertanya tentang tingkahku, mukanya yang keling seakan memutih pasih mendengar jawaban dari pertanyaannya.
“Ha…ha…ha..sudah tahu nanya” begitu jawabku meremehkan. Selanjutnya bogem-bogem mentah kami saling beradu. Sampai akhirnya raungan dan tangisan mama lah yang membuat kami berhenti. Aku tak kuat mendengar mama meraungi kami
Ayah sekarang aku berada di kota yang mana telah menyeretku untuk berpikir memahami kenyataan, mengartikan tanggung jawab, membawa diri disela-sela perbedaan. Ayah…aku sangat rindu padamu, pada caramu mendidik uda, aku, dan adik-adik. Caramu mencintai mama juga caramu mengasihi umi, apa, amak dan kakak perempuanmu di Bukittinggi.
Entahlah Ayah di kota ini rinduku kian membengkak bak bisul yang mau pecah, menggunung bak payudara gadis tetangga sebelah saat ku dipinta merabanya., hahahahahah….Yah tetangga sebelah kita Ayah, perempuan yang pernah kupacari setelah dipacari uda….uh gila!!!
Ayah pada akhirnya aku sangat menyayangimu, mencintaimu, merindukanmu …disini banyak inginku mengadu memberitahumu tentang “sesuatu”. Tentang hari-hariku, tentang semua yang terjadi padaku disini… Maafkan aku ayah. Semoga engkau sedikit tenang melihat keadaanku yang mulai membaik.. Doakan aku ayahanda…
Miss u
Tag :
Untuk Cintaku
0 Komentar untuk "Rewrite For Ayahku"